The Reason To Live Under His Blessings: To Be Happier


Baru saja nonton video Youtube-nya Maudy Ayunda tentang kehidupannya yang sedang menempuh studi di Oxford. Well, my heart somehow feels a slightly pain. Karena dua kali harus menenggelamkan mimpi untuk studi di luar negeri. Yang pertama di Australia tepatnya Swinburne University. Bisa dibilang saat itu rezeki buat anak kuliahan yang belum lulus S1 tapi sudah mendapatkan tawaran untuk melanjutkan studi lanjut di negeri Kangguru. Senyumku pun harus menghilang ketika ridho orang tuaku tak turun. Meskipun aku sudah menunjukkan semangat belajar yang sungguh-sungguh.

Hatiku pun remuk untuk kedua kalinya, ketika meskipun sudah melalui ujian IELTS dengan nilai yang baik, Bapak tetap ragu dan berujung tak memberi izin. Dengan alasan tidak bisa jauh dari anaknya, maka Beasiswa Erasmus Mundus harus direlakan lagi. Terasa so sweet ketika orang tua begitu menyayangi anaknya. Tapi egoku yang harus dipaksa untuk ditaklukkan demi hati yang lain. Entah sebelah mana yang tak adil, tapi selalu ada harapan jauuuuh dalam diri ini untuk bisa menjadi perempuan yang hidupnya tak jauh-jauh dari kelas dan perpustakaan. Lengkap dengan angan-angan bisa membaca buku diantara sepoi-sepoinya angin Eropa.

Well, jadi ingat dulu waktu kuliah begitu giat belajar. Tak pernah bosan duduk berjam-jam di perpustakaan. Berkutat diantara buku-buku yang berdebu. Jari jemari menari diantara penutup buku, mencari judul-judul yang kiranya bisa memuaskan hausnya kepala.
Ah betapa indahnya masa mudaku. Betapa bermanfaatnya fisik dan jiwa ini belasan tahun lalu.

Duhai ego, maafkan aku yang tak mampu untuk menolak keinginan mereka. Maafkan aku wahai ego ketika dirimu dan mau mereka selalu berbeda arah. Dan kau tahu, tak mungkin ada perdebatan jika kau inginkanku untuk berhadapan dengan mereka. Karena jika mereka terluka, maka tak akan ada lagi sisa kebahagiaan untukmu dan untukku.
Begitulah caraku untuk tahu diri dengan titel yang menempel di jiwa ini: Anak
Sungguh sulit ya untuk dipahami, tapi biarkan mimpi-mimpi yang terluka itu kembali ke pelukanNya. Biarkan Dia yang mengobatinya. Biarkan Dia yang menghiburmu, wahai ego.

Sebut saja aku sudah menuliskan perjanjianku untuk Tuhan kita, bahwa aku tak akan melawan mereka berdua. Sebut saja aku sudah lupa tentang hadiah apa yang akan kudapatkan dengan perjanjian itu denganNya. Surgakah? Baiklah jika memang surga itu hadiahku.

Bahkan tentang pernikahan yang jelas-jelas mengikatku hingga aku mati, adalah kehendaknya dan tentu saja -Nya. Aku menuruti untuk hidup bersama sosok baik dan sangat lembut terhadapku, tidak ada yang salah dengannya. Jika ada yang salah menurut perhitungan akalku, maka lagi-lagi biarkan Dia yang memperbaiki dan seterusnya. Lalu apakah aku tidak punya kekuatan untuk menentukan sendiri kehidupanku. Kalau iya memang kenapa? dan kalau aku menolak, pun apakah menjadi masalah bagi orang lain?

Kehidupan ini terlalu mengerikan jika kita hanya mengandalkan diri sendiri. Jadilah sudah andalkan saja kebaikan hidup padaNya. Meskipun kita harus terus menerus patah hati karena tidak sesuai dengan kehendak kita, sebagai manusia. Sebagai manusia yang katanya mampu membuat malaikat bertekuk lutut.
Sudahlah, tidak ada yang lebih baik dari bersimpuh dan mohon selalu berada dalam pelukanNya. Karena hidup yang keras tak akan mampu menerpa KemahalembutanNya.




Komentar